DETIK METRO - Memang menjadi sangat berbahaya jika kita memaknai sebuah kata lepas dari kalimatnya dan kalimat lepas dari paragrafnya, dan paragraf lepas dari paragraf-paragraf lainnya. Melihat sebuah pernyataan tidak utuh, akan membuat kita jadi tidak memahami dengan utuh.
Itulah yang terjadi saat mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), harus mengalami kriminalisasi hanya gara-gara kalimatnya dipotong dan diberi kalimat provokatif yang kemudian menyebar di media sosial. Ahok pada akhirnya harus mendekam dalam penjara.
Untuk sederhananya beginilah berbahayanya melepaskan kata dari kalimat:
"Anjing!
Hoi jangan lewat situ, ada Anjing!"
Kasus Ahok seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita untuk hati-hati dalam memahami sesuatu diluar konteks kalimat dan bahkan paragraf dalam sebuah pernyataan. Apalagi kalau kita sudah memiliki image tidak baik terhadap orang tersebut. Akhirnya pikiran kita pun bisa buruk terhadap diri orang tersebut.
Nah, hari ini, Rabu (16/8/2017), Anggota Fraksi dan mantan Presiden PKS, Tifatul Sembiring, dinilai sedang melakukan politisasi doa hanya karena menyebut kalimat “Gemukkanlah badan beliau karena kini terlihat semakin kurus. Padahal tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membaja untuk maju terus agar menjadi bangsa yang adil, makmur, sejahtera.”
Kalimat tersebut dipotong dan akhirnya yang berkembang dan digoreng adalah Tifatul keterlaluan karena di dalam doanya menyinggung Jokowi kurus dan minta didoakan supaya gemuk. Karena menurut Tifatul dalam isi doanya Jokowi kurang waktu untuk beristirahat, setiap hari pasti capek dan lelah.
Penggorengan ini menjadi sangat mantap dilakukan adalah karena Tifatul adalah kader PKS yang bukan hanya beroposisi terhadap pemerintah, melainkan juga karena termasuk kubu yang paling sering menyerang Presiden Jokowi dengan hoax dan fitnah.
Padahal kalau kita amat-amati, tidak ada yang salah dari doa Tifatul. (Baca Teks Lengkap Doa Tifatul Sembiring)
Tifatul sendiri menyatakan bahwa dirinya tidak ada bermaksud merendahkan Presiden Jokowi yang kurus. Tifatul beralasan bahwa isi duanya tidak lain dan bukan adalah agar Presiden Indonesia menjadi lebih baik.
“Nggak (mengkritik). Doanya yang lebih baik dan bagus. Supaya kuat, supaya sehat menghadapi beban yang berat. Itu dibaca semua, jangan dipotong begitu,” ujar Tifatul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017).
“Supaya lebih bagus Presiden kita. Supaya dikabulkan Allah doanya, he-he,” kata Tifatul.
Saya menyimpulkan dari sisi kalimatnya, tidak ada hal yang salah. Tifatul menyampaikan sebuah doa dengan harapan mengenai masa depan mengenai kondisi dan kepemimpinan Indonesia. Meminta juga supaya Jokowi yang semakin kurus supaya digemukkan.
Kasus Tifatul ini sekali lagi memang menjadi heboh karena memahaminya dengan sepotong-potong. Padahal, doa supaya Jokowi digemukkan sekali lagi bukan bermaksud menghina dan mengejek. Lalu mengapa semua menggoreng bahwa Tifatul sedang menghina Jokowi??
Semua kembali kepada platform oposisi dan posisi. Tifatul yang adalah representasi partai oposisi akhirnya tidak bisa mengelak dan membela diri bahwa dia tidak sedang menyindir Presiden Jokowi. Seandainya kalimat ini disampaikan oleh orang yang tidak punya tendensi dan bukan partai PKS pasti tidak akan jadi seperti ini.
Ya, sama seperti Ahok, kalau yang menyampaikannya bukan Ahok, melainkan HT, maka apa yang diucapkan Ahok tidak akan pernah menjadi masalah. Mengapa?? Karena “siapa” yang mengatakan lebih sering lebih dominan menjadi penentu dibandingkan “Apa” yang diucapkan bagi orang yang sudah tidak disukai.
Lalu apakah memang Tifatul berniat menyindir dan menghin Presiden Jokowi?? Hal ini hanyalah Tifatul dan Tuhan saja yang mengetahuinya. Dan saya yakin, sebagian dari kita pasti tidak percaya kalau Tifatul tidak sedang menyindir dan menyerang Jokowi.
Kalaulah memang benar Tifatul melakukan itu, maka saya sangat setuju perkataan Zuhairi Misrawi berikut ini..
Zuhairi misrawi @zuhairimisrawi
"Bagi saya, politisasi doa merupakan betapa rendahnya moral seseorang. Doa itu komunikasi kita kepada Tuhan. Tak etis politisasi doa."
Hanya orang yang sangat rendah moral hidupnya bisa melakukan politisasi doa. Sama seperti saat Pilkada Jakarta dimana Masjid pun dijadikan alat politisasi. Hal yang akhirnya membuat PKS dan kader-kadernya dicap sebagai kubu yang biasa mempolitisasi agama.
Jadi, kalau menurut saya, kalimat Tifatul sebenarnya tidaklah ada yang salah, tetapi modus dan motifnya apakah benar sedang menyindir dan merendahkan biarlah Tuhan yang akan menentukan ini orang kena azhab atau masih ada ampunan baginya.
Salam Politisasi Doa.
Oleh: PALTI HUTABARAT
Sumber: Seword.com